Minggu, 31 Oktober 2010

Kesalahan penggunaan bahasa baku

Kesalahan penggunaan bahasa baku

Kesalahan berbahasa merupakan fenomena alamiah yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari hari. Saat ini kebiasaan bebahasa yang kita dari EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dalam kamus besar bahasa Indonesia, mungkin kita tidak menyadari bahwa kesalahan yang kita lakukan sangat berpengaruh apabila kita bersinggungan dalam dunia yang lebih formal seperti dunia kerja.

Begitu banyak fenomena yang terjadi sehingga seperti melegalkan bahasa yang salah sehingga lambat laun menjadi hal yang biasa.

Bahasa baku

Yang dimaksud dengan bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang diajukan dasar ukuran atau yang dijadikan standar. Ragam bahasa ini lazim digunakan dalam:

1. Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, perundang-undangan, penamaan dan peristilahan resmi, dan sebagainya.
2. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi, karang ilmiah, buku pelajaran, dan sebagainya.
3. Pembicaraan didepan umum, seperti dalam ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya.
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.


Kesalahan penggunaan bentuk dasar

Pengunaan bentuk dasar pada afiliasi dikaitkan dengan aspek bahasa baku, semantis, pilihan kata dan ejaan. Dalam hal ini aspek tersebut terlibat dalam penentuan bentuk dasar pada afiliasi. Jika penggunaan bentuk dasar tidak tepat akan mengakibatkan terjadinya kesalahan afiliasi. Berikut contohnya:

  • Mereka membuat ide bagus yang biasa membikin Joni menyelesaikan masalah.
  • Semua teman joni tidak enak bilang ibu Joni tentang keadaanya sekarang.
  • Akhirnya Joni berantem dengan Toni sekarang.

Kata kata diatas merupakan kesalahan pengunaan bentuk dasar yang sekait dengan bentuk dasar baku dan tidak baku. Bentuk diatas merupakan bentuk dasar tidak baku, sehingga tidak baik digunakan dalam ragam tulis dan dunia kerja.

Penggunaan Kaidah Tata Bahasa
Kaidah tata bahasa normatif selalu digunakan secara ekspilisit dan konsisten. Misalnya:

1. Pemakaian awalan me- dan awalan ber- secara ekpilisit dan konsisten.
Misalnya:
Bahasa baku
- Gubernur meninjau daerah kebakaran.
- Pintu pelintasan kereta itu kerja secara otomatis.

2. Pemakaian kata penghubung bahwa dan karena dalam kalimat majemuk secara ekspilisit. Misalnya:
Bahasa Baku
- Ia tidak tahu bahwa anaknya sering bolos.
- Ibu guru marah kepada Sudin, ia sering bolos.

3. Pemakaian pola frase untuk peredikat: aspek+pelaku+kata kerja secara konsisten. Misalnya:
Bahasa Baku
- Surat anda sudah saya terima.
- Acara berikutnya akan kami putarkan lagu-lagu perjuangan.
Bahasa Tidak Baku
- Surat anda saya sudah terima.
- Acara berikutnya kami akan putarkan lagu-lagu perjuangan.


4. Pemakaian konstruksi sintensis. Misalnya:
Bahasa Baku Bahasa Tidak Baku
- anaknya - dia punya anak
- membersihkan - bikin bersih
- memberitahukan - kasih tahu
- mereka - dia orang

5. Menghindari pemakaian unsur gramatikal dialek regional atau unsure gramatikal bahasa daerah. Misalnya:
Bahasa Baku
- dia mengontrak rumah di Kebayoran lama
- Mobil paman saya baru
Bahasa Tidak Baku
- Dia ngontrak rumah di Kebayoran lama.
- Paman saya mobilnya baru.

KESIMPULAN
1. Bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok ajuan, yang dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar.

2. Ragam bahasa baku bahasa Indonesia memang sulit untuk dijalankan, atau yang digunakan karena untuk memahaminay dibutuhkan daya nalar yang tinggi.

3. Dengan menggunakan ragam bahasa baku, seseorang akan menaikkan
prestisenya.

Selasa, 05 Oktober 2010

Membumikan dongeng di tengah imaji kekerasan


Belakangan ini, nurani kita diharu biru oleh maraknya aksi kekerasan dan premanisme. Hati kita benar-benar dibuat miris menyaksikan tumpahan darah dan air mata. Hanya perkara sepele bisa membuat orang jadi kalap dan gampang meluapkan amarah. Perusakan, pembakaran, penganiayaan, dan berbagai perilaku vulgar lainnya dengan mudah kita saksikan melalui layar ajaib bernama televisi.

Benarkah bangsa kita telah kehilangan sikap ramah? Benarkah bangsa kita telah kehilangan nilai-nilai kearifan sehingga setiap masalah mesti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, vulgar, dan vandalistik? Ke manakah nilai-nilai keluhuran budi yang dulu pernah menjadi kenyataan karakter dan kepribadian bangsa yang tak terbantahkan itu? Sudah tak ada ruangkah bagi anak-anak masa depan negeri ini untuk membangun karakter yang kokoh dan kuat sehingga tak gampang tersulut api amarah dan kalap ketika menghadapi masalah?


Lihat saja panggung sosial di negeri ini yang terus berdarah-darah! Nyawa manusia kian termarginalkan oleh nafsu dan keinginan untuk menang sendiri dan saling menyakiti. Entah, sudah berapa nyawa yang melayang menjadi korban mutilasi atau tawuran antarkampung. Juga sudah tak terhitung berapa jengkal tanah yang telah berubah menjadi ladang pembantaian akibat meruyaknya nafsu serakah, dendam, dan kebencian.

Orang-orang kita pada zaman dulu, konon punya cara khas untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran budi kepada anak cucu. Menjelang tidur, mereka biasa mendongeng sampai sang anak-cucu benar-benar tertidur pulas. Banyak nilai keteladanan dan kearifan hidup yang bisa dipetik dari rangkaian dan alur cerita dalam dongeng. Tokoh-tokoh yang punya karakter kuat seperti mampu menaburkan pesona dan makna kebajikan hidup ke dalam ruang imajinasi anak-anak. Secara tidak langsung, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang tersirat dari balik dongeng mampu terserap ke dalam alam logika dan nurani anak-cucu hingga terbawa sampai mereka dewasa. Sikap toleran, moderat, rendah hati, kreatif, empati, dan nilai-nilai budi pekerti yang lain sangat kuat mengakar ke dalam memori anak-anak dan diaplikasikan ke dalam tindakan dan perilaku hidup sehari-hari.

Namun, anak-anak zaman sekarang agaknya makin sulit mendapatkan asupan nilai kearifan hidup lewat dongeng. Tingkat persaingan hidup yang makin ketat dan sengit membuat orang tua makin sibuk memburu gebyar materi. Alih-alih mendongeng, komunikasi dan interaksi dengan anak-anak pun tak lagi bisa dilakukan secara intens. Hubungan anak dan orang tua semata-mata hanya tuntutan biologis. Keluarga jadi kehilangan roh dan sentuhan nilai kearifan hidup. Yang lebih menyedihkan, anak-anak dengan mata vulgar dan telanjang menyaksikan dongeng-dongeng modern yang tersaji melalui layar kaca.

Sinetron kita yang tak henti-hentinya mengeksploitasi kekerasan, kemewahan, dendam, dan kebencian, cerita hantu dan horor, bahkan juga berita-berita vulgar tentang mutilasi, mafia peradilan, maklar kasus, atau korupsi, setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar terhadap pembentukan karakter anak. Sementara itu, dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng terakhir dalam mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi makin tak berdaya ketika fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sosial secara nyata telah mempraktikkan proses anomali dan kebangkrutan moral yang demikian masif dan telanjang. Maka, makin sempurnalah cekokan dongeng-dongeng modern itu ke dalam ruang imajinasi dan memori anak-anak.

Haruskah situasi seperti itu akan terus berlangsung hingga akhirnya anak-anak masa depan negeri ini benar-benar menjelma menjadi “monster” yang tega memangsa sesamanya dan menjadi penganut kanibalisme? Agaknya, kita perlu merevitalisasi dan sekaligus membumikan dongeng untuk mengembalikan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang selama ini telah hilang dan memfosil di tengah-tengah peradaban yang makin kacau dan chaos. **


Sumber: Membumikan Dongeng di Tengah Imaji Kekerasan | MGMP BAHASA INDONESIA SMP http://mgmpbismp.co.cc/2010/06/02/membumikan-dongeng-di-tengah-imaji-kekerasan/#ixzz11YOORIFU

Fonologi

Fonologi secara bahasa memiliki makna ilmu tentang bunyi. Hal ini sesuai dengan makna dari kata Fonologi itu sendiri yang terdiri atas fon=bunyi danlogos=ilmu. Akan tetapi, bunyi yang dipelajari dalam Fonologi bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa yang dapat membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulis yang digunakan oleh manusia. Bunyi yang dipelajari dalam Fonologi kita sebut dengan istilah fonem.

Fonem tidak memiliki makna, tapi peranannya dalam bahasa sangat penting karena fonem dapat membedakan makna. Misalnya saja fonem [l] dengan [r]. Jika kedua fonem tersebut berdiri sendiri, pastilah kita tidak akan menangkap makna. Akan tetapi lain halnya jika kedua fonem tersebut kita gabungkan dengan fonem lainnya seperti [m], [a], dan [h], maka fonem [l] dan [r] bisa membentuk makna /marah/ dan /malah/. Bagi orang Jepang kata marah dan malah mungkin mereka anggap sama karena dalam bahasa mereka tidak ada fonem [l]. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita untuk mempelajari Fonologi.

Sekarang coba Anda perhatikan bunyi gebrakan tangan di atas meja. Apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam kategori fonem? jika Anda menjawab Iya, Anda harus membaca kembali kalimat sebelumnya. Tapi, jika jawaban Anda Bukan..Selamat! Anda telah berhasil memahami tentang fonem. Bunyi gebrakan tangan di atas meja mungkin bisa memiliki makna atau pun membedakan makna, tapi apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam bunyi bahasa..silahkan Anda perhatikan dengan baik.

Fonem dalam bahasa Indonesia terdiri atas empat macam. Ada fonem yang benar-benar asli dari bahasa Indonesia, namun ada pula fonem yang berasal dari berbagai bahasa lain namun penggunaannya sudah dibakukan. Dalam pembahasan berikut, saya tidak akan membedakan antara fonem yang asli dengan fonem yang serapan.

Jenis-jenis fonem:

1. Vokal

Ada sebagian orang yang menyebut vokal sebagai fonem hidup. Hal ini sangatlah benar karena fonem vokal dapat membuat fonem yang lain (konsonan) menjadi hidup. Vokal dalam bahasa Indonesia ada 5 macam yaitu [a], [i],

Nyai Anteh sang penunggu bulan

Nyi Anteh Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.

“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”

“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.

“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.

“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.

“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.

“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?” jawab Anteh dengan semangat.

“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.

“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.

“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.

“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.

“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.

Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.

“Ya ibu,” jawab putri.

“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”

“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.

“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”

“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.

Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya. “Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”

“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”

Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.

“Siapa tuan?” tanya Anteh.

“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.

“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma.

“Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”

Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.

Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.

“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.

“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.

Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.

“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.

“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.

“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.

“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”

“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.

“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.

“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”

Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.

Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.

“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.

“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.

“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”

“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.

“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.

“Betul paman!” jawab Anteh.

“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.

“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.

“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.

“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.

“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.

Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.

Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.

“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.

“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.

“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri.

“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.

“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”

Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.

Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.

“Anteh!” tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.

“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.

“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.

“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.

“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.

Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.

Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”

Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.

Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.

Resensi novel Sang pencerah

Jakarta (ANTARA News) - Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD Muhammadiyah di Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang Pencerah (SP) garapan Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta) ini memang patut diacungi jempol.

Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan).

Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang.

Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak.

Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.

Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.

Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.

Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untukrahmatan lilalamin.

Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.

Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati.

Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.

Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi.

Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.

Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.

Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh hawa nafsu.

Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).

Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan.

Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak ada Islam".

Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi.

Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru.

Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun.

Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan.

Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal.

Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem.

Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD.

Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah 'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'.

Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak semudah membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi bahkan bisa dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan Tuhan. Dus, modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi.

Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD).

Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.

Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.

Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan'.

Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan.

Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai perserikatan non-politik.

Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks.

Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah. (***)

Diberdayakan oleh Blogger.